Berkurban, Apakah Sebuah Kewajiban Atau Mustahab (Sunnah)?
Pertanyaan
Saya telah membaca fatwa di website anda yang menyebutkan bahwa
berkurban adalah sunnah, akan tetapi tidak terdapat dalil yang kuat pada
website yang mendukung pendapat tersebut. Kami berharap apakah anda berkenan
untuk menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa berkurban adalah sunnah
bukan wajib? dan bagaimana dengan hadits berikut ini:
مَنْ
كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barang siapa yang mempunyai keluasan rizeki dan tidak berkurban,
maka jangan pernah mendekati tempat shalat kami”. [HR. Ibnu Majah]
Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama: Pada masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang terkenal
di antara para ulama –rahimahullah-, kebanyakan di antara mereka berpendapat
bahwa berkurban adalah sunnah dan tidak wajib.
Hanafiyah dan Imam Ahmad yang dipilih oleh Syeikh Islam Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa berkurban adalah wajib bagi yang mempunyai keluasan
rizeki.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Kebanyakan para ulama
berpendapat bahwa berkurban adalah sunnah muakkadah tidak wajib”.
Hal ini telah diriwayatkan dari Abu Bakr, Umar, Bilal dan Abu
Mas’ud Al Badri –radhiyallahu ‘anhum-, senada dengan pendapat mereka juga
pendapat Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atha’,
Asy Syafi’i, Ishak, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Rabi’ah, Malik, Ats Tsauri, Al
Auza’i, Al Laits dan Abu Hanifah berkata: “Berkurban adalah wajib, berdasarkan
riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ
كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barang siapa yang mempunyai keluasan rizeki dan tidak berkurban,
maka jangan pernah mendekati tempat shalat kami”.
Dan dari Mikhnaf bin Sulaim bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ، إنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أَضْحَاةً
وَعَتِيرَةً
“Wahai manusia, sungguh bagi setiang anggota keluarga, pada setiap
tahunnya sembelihan kurban”.
Yang sesuai dengan pendapat kami sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dengan sanad dari Ibnu Abbas dari Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ،
وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ – وَفِي رِوَايَةٍ – الْوِتْرُ،
وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ
“Ada tiga hal yang telah diwajibkan kepadaku namun bagi kalian
tetap sunnah, dan dalam riwayat yang lain: “Shalat witir, berkurban dan dua
raka’at sebelum subuh”.
Dan karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda:
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا
بَشَرَتِهِ شَيْئًا
“Barang siapa yang ingin berkurban lalu sudah memasuki 10 awal
bulan Dzul Hijjah, maka jangan sampai mengambil rambutnya dan dari kulitnya
sedikitpun”. [HR. Muslim]
Pada hadits tersebut dikaitkan dengan keinginan sementara ibadah
wajib tidak dikaitkan dengan keinginan. [Al Mughni: 11/95]
Kedua: Setiap kelompok telah menyebutkan sejumlah dalil, akan
tetapi dari sisi sanadnya masih dipermasalahkan, atau masih ada perdebatan pada
cara pengambilan dalil, berikut ini kami fokuskan pada hadits-hadits yang
marfu’ saja:
Hadits pertama: Bagi yang berpendapat bahwa berkurban adalah wajib.
Yaitu; hadits Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:
مَنْ
كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barang siapa yang mempunyai keluasan rizeki dan tidak berkurban,
maka janganlah mendekati tempat shalat kami”. [HR. Ibnu Majah]
Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut
marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan
ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Al Baihaqi dalam sunannya (9/260): “Telah disampaikan kepadaku dari
Abu Isa At Tirmidzi bahwa dia berkata: “Yang shahih adalah dari Abu Hurairah
bahwa hadits itu adalah mauquf (berhenti di Abu Hurairah). Ia berkata: “Hadits
tersebut telah diriwayatkan oleh Ja’far bin Rabi’ah dan yang lainnya dari
Abdurrahman Al A’raj dari Abu Hurairah mauquf”.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
Ahmad, dan para perawinya tsiqah (bisa dipercaya), akan tetapi berbeda pendapat
dalam hal marfu’ atau mauqufnya. Sementara mauquf yang lebih benar. Disampaikan
oleh Ath Thahawi dan yang lainnya namun bersamaan dengan itu belum jelas
jawabannya”. [Fathul Baari: 13/98]
Ibnu Abdil Bar dan Abdul Haq telah menguatkan bahwa hadits tersebut
mauquf dalam Ahkamul Wushtha: 4/127 dan Al Mundziri dalam Targhib waTarhib dan
Ibnu Abdil Hadi dalam At Tanqih: 2/498.
Hadits kedua: Hadits Abi Ramlah dari Mukhnaf bin Salim sebagai
hadits marfu’, yaitu;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ
عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً وَعَتِيرَةً رواه أبو
داود والترمذي ، وابن ماجة
“Wahai manusia, sungguh diwajibkan bagi setiap keluarga setiap
tahunnya untuk berkurban dan ‘Athiirah”. [HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan Ibnu
Majah]
Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan
Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah.
Ada beberapa ulama –rahimahumullah- telah melemahkan hadits ini
karena Abu Ramlah tidak dikenal dan namanya adalah ‘Amir.
Al Khithabi berkata: “Hadits ini lemah perawinya dan Abu Ramlah
tidak dikenal”. [Ma’alim As Sunan: 2/226]
Az Zaila’i berkata: “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu
Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya
adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Aun”. [Nashbu Ar Rayah: 4/211]
Adapun mereka yang mengatakan bahwa berkurban adalah sunnah, maka
mereka berhujjah dengan beberapa hadits marfu’, yang paling penting adalah dua
hadits yang telah disebutkan oleh Ibnu Qudamah –rahimahullah-:
Hadits Pertama: Hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda:
ثَلاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ،
وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ: الْوَتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَصَلاةُ الضُّحَى رواه
أحمد والبيهقي
“Ada tiga hal yang hukumnya wajib bagiku namun ketiganya menjadi
sunnah bagi kalian: Shalat witir, berkurban dan shalat dhuha”. [HR. Ahmad dan
Baihaqi]
Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan
kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu
Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam
menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu
Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. [At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca
juga pada: 2/258]
Hadits Kedua: Hadits Ummu Salamah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ،
وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ
شَيْئًا رواه مسلم
“Jika sudah masuk 10 awal bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang dari
kalian ingin berkurban, maka janganlah mencukur rambut dan kulitnya sedikit
pun”. [HR. Muslim]
Imam Syafi’i berkata: “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa
berkurban hukumnya tidak wajib, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-: “Dan salah seorang mau berkurban”, di sini beliau menyerahkan kepada
keinginannya, jika hukumnya wajib maka beliau akan bersabda “Maka janganlah
menyentuh rambutnya sampai ia menyembelih hewan kurbannya”. [Al Majmu’: 8/386]
Akan tetapi istidlal (cara pengambilan dalil) ini tidak selamat
dari diskusi; karena menyerahkan kepada keinginan tidak bisa dijadikan dalil
bahwa hal itu tidak wajib.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Menurut hemat kami
bahwa menyerahkan kepada keinginan itu tidak menghilangkan kewajiban, jika ada
dalil yang membuktikannya, karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah
bersabda berkaitan dengan miqat:
هُنَّ لهُنَّ، ولِمَن أتى
عليهِنَّ مِن غيرِ أهْلِهِنَّ، لِمَن كان يريد الحَجَّ والعُمْرَةَ
“Miqat-miqat ini adalah bagi mereka dan bagi siapa saja yang datang
dan bukan berasal dari penduduknya, bagi mereka yang ingin melaksanakan haji
dan umrah”.
Dalil ini tidak menghalangi kewajiban haji dan umrah dengan dalil
lainnya. Ibadah kurban ini tidak wajib bagi mereka yang kesulitan, jadi dia
tidak menginginkannya. Maka ada benarnya membagi masyarakat dengan yang
mempunyai keinginan dan orang yang tidak mempunyai keinginan dilihat dari sisi
kemudahan hidup dan kesulitannya”. [Ahkamul Udhhiyyah wadz Dzakah: 47]
Kesimpulan:
Bahwa hadits-hadits tentang wajibnya berkurban masih diperdebatkan,
meskipun sebagian para ulama telah menganggap sebagiannya hasan. Demikian juga
hadits-hadits yang menyatakan bahwa kurban adalah sunnah, bahkan dari sisi sanad
lebih dha’if lagi.
Oleh karenanya Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata pada
penutupan buku beliau “Ahkam Al Udhhiyyah wa Ad Dakaah”:
“Inilah pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka, kami paparkan
untuk menjelaskan masalah kurban dan pentingnya dalam agama. Dalil-dalil yang
ada hampir sama, dan untuk jaga-jaga jika mampu untuk tidak meninggalkan
berkurban; karena di dalamnya terdapat mengagungkan Allah, mengingat-Nya,
menggugurkan tanggung jawab dengan penuh keyakinan”.
Ketiga: Yang menguatkan bahwa hukum berkurban tidak wajib adalah
dua perkara:
1. Al Bara’atul Ashliyyah (Kembali kepada hukum asal), maka selama
tidak ada dalil yang mewajibkan yang selamat dari perdebatan, maka hukum
asalnya tidak wajib.
Syeikh Ibnu Baaz berkata: “Hukum berkurban adalah sunnah jika dalam
kelapangan rizeki, bukan wajib; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
telah menyembelih dua kambing kibas jantan, dan para sahabat juga berkurban di
masa hidup beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan setelah beliau meninggal
dunia, demikian juga semua umat Islam setelah mereka. Tidak ada satupun dalil
syar’i yang menunjukkan hukumnya wajib, pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya
wajib adalah pendapat yang lemah”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 18/36)
2. Atsar para sahabat yang shahih.
Telah diriwayatkan dengan shahih dari Abu Bakar, Umar dan yang
lainnya bahwa mereka semuanya tidak berkurban; karena khawatir masyarakat akan
mengira bahwa hukumnya wajib.
Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar
(14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata:
أَدْرَكْتُ
أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ
“Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan
keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”.
Imam Baihaqi berkata setelahnya: “Kami riwayatkan di dalam kitab
Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan
Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua
khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”.
An Nawawi berkata di dalam Al Majmu’ (8/383): “Adapun atsar
tersebut tentang Abu Bakar dan Umar –radhiyallahu ‘anhuma- maka telah
diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan yang lainnya dengan sanad yang hasan”.
Al Haitsami berkata: “Imam Thabrani juga telah meriwayatkannya di
dalam Al Kabiir dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih”. [Majmu’
Az Zawaid: 4/18 dan telah dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’: 4/354]
Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu
Mas’ud Al Anshori: “Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk
yang dimudahkan rezekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal
itu wajib bagiku”. [Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga]
https://almanhaj.or.id/35981-berkurban-apakah-sebuah-kewajiban-atau-mustahab-sunnah.html