Hukum Menghindar dari Jabatan Agama
Pertanyaan:
Banyak sekali penuntut ilmu yang menghindar dari jabatan keagamaan, apa
penyebabnya? Apakah ada nasihat bagi para hadirin? Sebagaimana bisa
diperhatikan bahwa sebagian besar mahasiswa fakultas syari’ah –mencari berbagai
cara untuk menghindar dari jabatan pengadilan (qadhi, hakim), apa nasihat
Syaikh untuk mereka?
Jawaban:
Jabatan keagamaan seperti qadhi (hakim), mengajar, dan khutbah merupakan
jabatan mulia dan sangat penting, dan kaum muslimin sangat membutuhkannya.
Apabila para ulama menghindar darinya niscaya akan dipegang oleh orang-orang
jahil (bodoh) dan mereka sesat menyesatkan.
Bagi para ulama
dan ahli agama yang sangat dibutuhkan wajib memegang jabatan ini, karena
perkara-perkara ini berupa qadha, mengajar, khutbah dan dakwah serta yang
serupa maka termasuk fardhu kifayah. Apabila ditentukan kepada seseorang yang
punya kemampuan niscaya wajib atasnya dan ia tidak boleh menghindari dan
menolaknya.
Kemudian, jika
ada seseorang yang menempati jabatan tersebut dan itu sudah cukup, niscaya
tidak wajib bagi yang lain. Maka semestinya ia melihat yang lebih baik, sebagaimana
Allah Shubhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang Nabi Yusuf ‘alaihissalam.
bahwa ia berkata kepada raja Mesir:
قال الله تعالى: قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ
الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ )سورة
يوسف: 55(
Dia (Yusuf)
berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), karena sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” [Yusuf/12: 55].
Manakala ia
melihat mashlahat dalam memegang jabatan itu, maka ia meminta jabatan itu. Dia
seorang nabi dan rasul yang mulia, dan para nabi adalah manusia paling utama.
Ia memintanya untuk perbaikan: perbaikan bagi penduduk negeri Mesir dan
mengajak mereka kepada kebenaran.
Maka penuntut
ilmu, apabila ia melihat mashlahat dalam hal itu, ia meminta jabatan itu dan
ridha dengannya, baik jabatan qadha` atau mengajar atau departemen atau yang
lainnya, dengan catatan bahwa tujuannya adalah untuk perbaikan dan kebaikan,
dan tujuannya bukan dunia semata, namun tujuannya adalah karena Allah Subhanahu
wa ta’ala dan untuk bekal di hari akhirat kelak, memberi manfaat kepada manusia
dalam agama mereka –yang pertama-tama-, kemudian dalam urusan dunia mereka, dan
ia tidak ridha jabatan-jabatan tersebut dipegang oleh orang-orang jahil dan
fasik. Maka apabila dia ditawari jabatan yang baik dan dia merasa dirinya mampu
dan berkompeten atas jabatan tersebut, maka ia harus menerimanya. Dan hendaklah
ia memperbaiki niatnya, mengerahkan kemampuannya dalam hal itu, jangan
mengatakan saya takut, saya khawatir seperti ini dan itu.
Disertai niat
yang benar dan jujur dalam pekerjaan niscaya hamba diberikan taufik dan diberi
pertolongan atas hal itu. Apabila niatnya ikhlas karena Allah Subhanahu wa
ta’ala dan ia mengerahkan kemampuannya dalam kebaikan niscaya Allah Subhanahu
wa ta’ala memberi taufik kepadanya.
Dan dari bab
ini terdapat hadits Utsman bin Abil Asya ats-Tsaqafi bahwa ia berkata: Ya
Rasulullah, jadikanlah aku pemimpin kaumku.’ Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda:
أَنْتَ
إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لاَ يَأْخُذُ عَلَى
آذَانِهِ أَجْرًا .
‘Engkau
imam/pemimpin mereka, ikutilah yang paling lemah dari mereka, dan angkatlah muadzin
yang tidak mengambil upah atas adzannya. (HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasa`i, Ibnu
Majah, al-Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dan
dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud.)
Ia meminta
untuk menjadi pemimpin kaumnya untuk kepentingan syara’, memberikan bimbingan,
mengajar, amar ma’ruf, dan nahi mungkar kepada mereka, seperti yang telah
dilakukan oleh Nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Para ulama
berkata, “Sesungguhnya dilarang meminta jabatan apabila tidak diperlukan,
karena berbahaya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang melarang tentang hal
itu. Akan tetapi apabila diperlukan dan kepentingan syara’ mengharuskan
memintanya, niscaya boleh memintanya berdasarkan cerita Nabi Yusuf
‘alaihissalam dan hadits Utsman yang telah disebutkan.
https://almanhaj.or.id/80260-hukum-menghindar-dari-jabatan-agama.html