Perkara yang boleh Dalam Bermuamalah Dengan Orang Kafir
Perkara yang boleh Dalam Bermuamalah Dengan Orang Kafir

Di Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki banyak budaya dan agama dimana satu sama lain harus tetap berinteraksi dengan damai dan saling menghargai. Dalam kehidupan sehari hari, kita tidak bisa memilih secara sempurna lingkungan seperti apa dan berada di sekitar orang seperti apa, semuanya berdasarkan pada keadaan dan harus tetap melakukan keutamaan menyambung tali silaturahmi.

Islam mengajarkan akhlak yang baik kepada siapapun, bahkan kepada orang di luar Islampun. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini kita akan sajikan pembahasan perkara yang boleh dalam bermuamalah dengan orang kafir, di antaranya adalah :

1.Boleh berbuat ihsan (baik) dengannya secara umum .

Karena hukum asal muamalah secara umum adalah mubah, kaidah fiqhiyyah mengatakan

الأصل في المعاملات الإباحة

“hukum asal muamalah adalah mubah”

Allah Ta’ala berfirman:

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al Mumtahanah: 8).

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, Aku menyembelih kambing untuk Ibnu Umar dan keluarganya. Ibnu Umar berkata:

“apakah engkau sudah hadiahkaAn kambing ini juga kepada tetangga kita yang Yahudi itu?”. Mereka berkata: “Belum”. Ibnu Umar berkata: “berikan sebagian untuk mereka, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‘Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk berbuat baik pada tetangga, hingga hampir aku menyangka tetangga akan mendapatkan harta waris” (HR. Tirmidzi 1943, dishahihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Shahih Al Musnad 797).

2. Boleh berjual-beli atau menggunakan produk buatan non Muslim

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ – رضى الله عنهما – قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ مُشْرِكٌ مُشْعَانٌّ طَوِيلٌ بِغَنَمٍ يَسُوقُهَا فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « بَيْعًا أَمْ عَطِيَّةً أَوْ قَالَ أَمْ هِبَةً » . قَالَ لاَ بَلْ بَيْعٌ . فَاشْتَرَى مِنْهُ شَاةً

Dari Abdurrahman bin Abu Bakar radhiallahu ‘anhu beliau bercerita ketika kami sedang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Datanglah seorang laki-laki musyrik yang postur tinggi badannya di atas rata-rata sambil menggiring kambing-kambingnya.

Lantas Nabi bertanya kepadanya, “Apakah kambing kambing ini mau dijual ataukah dihibahkan?“

Dia menjawab, “Dijual”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli seekor kambing darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

An Nawawi mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bolehnya bermuamalah (jual beli, sewa, dll.) dengan non muslim (Syarh Nawawi untuk Shahih Muslim, 10:218). Bermuamalah dengan non muslim selama barang yang menjadi objek transaksi bukanlah barang yang haram dan barang tersebut bukanlah barang yang akan digunakan non muslim tersebut untuk memerangi kaum muslimin.

3. Boleh seorang lelaki Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab.

Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah, ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hanbali).

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ

“(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik” (Al-Maidah : 5).

4. Dibolehkan menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar tertarik pada Islam.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, orang-orang yang ingin dibujuk hatinya.” (QS. At Taubah: 60).

mayoritas ulama – dan ini pendapat yang kuat – berpendapat, sedekah sunah boleh diberikan kepada orang kafir.

An-Nawawi mengatakan,

يستحب أن يخص بصدقته الصلحاء وأهل الخير وأهل المروءات والحاجات فلو تصدق على فاسق أو على كافر من يهودي أو نصراني أو مجوسي جاز

Dianjurkan agar sedekah itu diberikan kepada orang sholeh, orang yang rajin melakukan kebaikan, menjaga kehormatan dan dia membutuhkan. Namun jika ada orang yang bersedekah kepada orang fasik, atau orang kafir, di kalangan yahudi, nasrani, atau majusi, hukumnya boleh. (al-Majmu’, 6/240).

5. Menjenguk Mereka Yang Sakit.

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al-Janâ`iz dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: «أَسْلِمْ»، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ.

“Dahulu ada seorang anak Yahudi biasa membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Suatu saat ia sakit, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di dekat kepalanya seraya berkata kepadanya: Masuklah ke dalam Islam! Lalu anak tersebut melihat kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Sang bapak berkata kepadanya: Taatilah Abul Qasim n . Lalu ia masuk Islam”.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar sembari berkata:

“Segala puji bagi Allâh yang telah menyelamatkannya dari neraka.” [HR. al-Bukhâri 3/219 no. 1356].

Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan kisah Abu Thâlib ketika sakaratul maut, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya dan menawarkan Islam kepadanya. [lihat Shahih al-Bukhâri 3/222 no. 1360].

6. Membalas salam mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.”(HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163)

Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.” (Malik HR. Bukhari no. 2466 dan Muslim no. 2244)

#sumber referensi :

Al Qur’an
https://muslim.or.id
https://almanhaj.or.id
https://konsultasisyariah.net
https://asysyariah.com
https://rumaysho.com
https://suaramuslim.net
https://muslimah.or.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)