Makna dan Hukum Perkataan “Bi Abi wa Ummi”
Makna dan Hukum Perkataan “Bi Abi wa Ummi”

 

 

 

Makna dan Hukum Perkataan “Bi Abi wa Ummi”

 

Perkataan “bi abi wa ummi” jika banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan “demi ayahku dan ibuku”. Sehingga sekilas nampak seperti ucapan sumpah. Padahal kita mengetahui Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

 

من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك

 

“Barangsiapa bersumpah atas nama selain Allah, maka ia telah kafir atau berbuat syirik.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaqi, disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad 7: 199)

 

Di sisi lain, perkataan “bi abi wa ummi” terdapat dalam banyak hadis, digunakan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan para sahabat.

 

Tulisan ringkas berikut ini akan mengurai kerancuan seputar masalah perkataan tersebut.

 

Hadis-hadis yang menyebutkan “bi abi wa ummi”

 

Berikut ini beberapa hadis yang memuat perkataan “bi abi wa ummi”. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

 

ما رَأَيْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُفَدِّي رَجُلًا بَعْدَ سَعْدٍ سَمِعْتُهُ يقولُ: ارْمِ فِدَاكَ أَبِي وأُمِّي

 

“Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan ayah bundanya sebagai tebusan, kecuali untuk Sa’ad bin Malik. Aku mendengar beliau berkata, ‘Lepas anak panahmu, ayah dan bundaku menjadi tebusannya.‘” (HR. Bukhari no. 2905 dan Muslim no. 2411).

 

Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

 

مَن يَأْتِ بَنِي قُرَيْظَةَ فَيَأْتِينِي بخَبَرِهِمْ. فانْطَلَقْتُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ جَمع لي رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أبَوَيْهِ فقالَ: فِداكَ أبِي وأُمِّي

 

‘Siapa yang dapat mendatangi Bani Quraizhah lalu membawa kabar mereka kepadaku?’ Maka, aku (Abdullah bin Az-Zubair) berangkat. Ketika aku kembali, aku dapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kedua orangtua beliau sebagai tebusan bagiku dengan mengatakan, ‘Bapak dan ibuku sebagai tebusan bagimu.’” (HR. Bukhari no. 3720)

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

 

دَخَلْتُ الجَنَّةَ أوْ أتَيْتُ الجَنَّةَ، فأبْصَرْتُ قَصْرًا، فَقُلتُ: لِمَن هذا؟ قالوا: لِعُمَرَ بنِ الخَطَّابِ، فأرَدْتُ أنْ أدْخُلَهُ، فَلَمْ يَمْنَعْنِي إلَّا عِلْمِي بغَيْرَتِكَ قالَ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ: يا رَسولَ اللَّهِ، بأَبِي أنْتَ وأُمِّي يا نَبِيَّ اللَّهِ، أوَعَلَيْكَ أغارُ

 

“Ketika aku tidur, aku bermimpi diperlihatkan surga. Aku melihat ada istana. Aku pun bertanya, ‘Milik siapa istana ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini milik Umar bin Khathab.’ Kemudian aku pun ingin memasukinya dan tidaklah ada yang menghalangiku, kecuali ingatanku tentang semangatmu wahai Umar.’” Umar pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku menjadi tebusannya, semangatku adalah untuk membelamu.’” (HR. Bukhari no. 5226 dan Muslim no. 2394)

 

Dan hadis-hadis lainya yang sangat banyak, yang memuat perkataan “bi abi wa ummi” atau yang semakna dengannya.

 

Makna perkataan “bi abi wa ummi”

 

Perkataan “bi abi wa ummi” sebenarnya bukan perkataan sumpah. Karena bentuk lengkap dari perkaraan ini adalah

 

أفديك بأبي وأمي

 

/afdiika bi abi wa ummi/

 

“Aku jadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu.”

 

Syekh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya apa makna “bi abi wa ummi”, beliau menjawab,

 

يعني أفديك بأبي وأمي، كلمة تقولها العرب في تعظيم المخاطب

 

“Maksudnya adalah ‘Aku jadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu’. Ini adalah kalimat yang biasa diucapkan orang Arab untuk mengagungkan lawan bicaranya.” (Fatawa Ad-Durus, no. 40412)

 

Al-fida’ atau tebusan di sini maksudnya pengganti. Ibnu Faris mengatakan,

 

فدي : أن يُجعل شيءٌ مكان شيءٍ حمًى له

 

“Fadyun artinya menjadikan B sebagai pengganti dari A untuk melindungi A.” (Maqayis Al-Lughah, 4: 483)

 

Maka, dengan mengatakan “Aku jadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu”, menunjukkan lawan bicara adalah orang yang sangat dimuliakan dan dicintai sampai-sampai rela orang tuanya sendiri diserahkan untuk menggantikan posisi orang tersebut untuk melindunginya. Namun, tentu saja ini sekedar kiasan bukan benar-benar menyerahkan orang tuanya sebagai tebusan.

 

Hukum perkataan “bi abi wa ummi”

 

Telah berlalu penjelasan bahwa perkataan ini bukan termasuk sumpah, sehingga tidak termasuk bersumpah dengan nama selain Allah yang terlarang. Perkataan ini jika digunakan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka para ulama ijma‘ akan bolehnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih layak untuk dimuliakan dan didahulukan melebihi ayah dan ibu siapa pun. Ibnu Mulaqqin rahimahullah mengatakan,

 

فيه تفدية النبي – صلى الله عليه وسلم – بالآباء والأمهات وهو إجماع، وهل يجوز تفدية غيره من المؤمنين فيه ثلاثة مذاهب

 

“Dalam hadis disebutkan penebusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ayah dan ibu. Ulama sepakat akan bolehnya. Adapun apakah boleh melakukan hal demikian kepada selain Nabi dari kalangan kaum mukminin? Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.” (Al-I’lam bi Fawaid Umdatil Ahkam, 3: 16)

 

Namun, jika digunakan terhadap orang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semisal mengatakan, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan untukmu wahai Syekh Fulan”, maka dalam masalah ini ada khilaf di antara ulama. Namun, jumhur ulama berpendapat akan bolehnya. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

 

فيه جواز التفدية بالأبوين وبه قال جماهير العلماء ، وكرهه عمر بن الخطاب والحسن البصري، وكرهه بعضهم في التفدية بالمسلم من أبويه والصحيح الجواز مطلقاً، لأنه ليس فيه حقيقة فداء، وإنما هو كلام وألطاف وإعلام بمحبته له ومنزلته، وقد وردت الأحاديث الصحيحة بالتفدية مطلقاً

 

“Dalam hadis ini terdapat tafdiyah (ucapan penebusan seseorang) dengan kedua orang tua. Ini dibolehkan oleh jumhur ulama, namun dimakruhkan oleh Umar bin Khathab, Al-Hasan Al-Bashri, dan sebagian ulama jika dilakukan terhadap seorang muslim (selain Rasulullah). Namun, pendapat yang sahih, hukumnya boleh secara mutlak. Karena dalam ucapan tersebut tidak ada penebusan secara hakiki, namun perkataan tersebut sekedar ucapan kelembutan dan pengabaran rasa cinta dan pengagungan kepada seseorang. Dan terdapat beberapa hadis yang menyebutkan tafdiyah secara mutlak.” (Syarah Shahih Muslim, 15: 184)

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

 

قد استوعب الأخبار الدالة على الجواز، أبو بكر بن أبي عاصم وجزم بجواز ذلك، فقال: للمرء أن يقول ذلك لسلطانه ولكبيره ولذوي العلم، ولمن أحب من إخوانه غير محظور عليه ذلك، بل يثاب عليه إذا قصد توقيره واستعطافه ولو كان ذلك محظوراً لنهى النبي صلى الله عليه وسلم قائل ذلك، ولأعلمه أن ذلك غير جائز أن يقال لأحد غيره. اهـ

 

“Jika semua dalil dikumpulkan, akan menunjukkan bolehnya ucapan tersebut. Abu Bakar bin Abi Ashim menegaskan kebolehan ucapan tersebut. Beliau mengatakan, ‘Seseorang boleh berkata demikian kepada sultannya, atau pembesarnya, atau ulama, atau kawannya yang ia cintai, tanpa larangan sama sekali. Bahkan, ia mendapatkan pahala jika diniatkan untuk mengagungkan atau ingin mempererat hubungan. Andaikan ucapan tersebut terlarang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah melarang untuk mengucapkannya. Dan tentu beliau akan mengabarkan bahwa perkataan tersebut tidak diperbolehkan untuk diucapkan kepada siapa pun.” (Fathul Bari, 10: 584)

 

Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

 

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wal ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

 

 

Penulis: Ustadz Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id




 

 

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)